“Will you marry me?” ujar
Reza. Bukan sebuah cincin cantik yang ia sodorkan bahkan tidak ada lagu cinta
yang mengiringi prosesi lamaran, tak ada juga seikat bunga mawar merah. hanya kartu
undangan berwarna perak dengan tulisan berwarna emas menyala yang ia sodorkan.
hanya saja belum tertuliskan nama di undangan itu. “Aku ingin nama kita yang
ada di kartu undangan itu.”
Aku terbelalak tak menyangka.
Bagaimana bisa seorang Reza melamarku. Namun semua itu bisa saja terjadi.
Buktinya malam ini aku tidak sedang dalam mimpi. Aku mencubit tanganku dibawah
meja untuk meyakinkan bahwa aku dalam keadaan sadar.
Aku menatap Reza yang begitu
berbeda malam ini. penampilannya begitu necis. Berbeda dari kesehariannya yang
hanya senang menggunakan celana pendek dan kaos oblong kumal yang tak pernah
disetrika bahkan bisa jadi berhari-hari tidak dicuci. Malam ini ia menggunakan
celana panjang berbahan katun dan baju kemeja tersetrika rapih.
Makan malam inipun berbeda
dari biasanya. Biasanya aku dan Reza makan di warteg, warung
nasi sunda, atau angkringan. Kali ini sebuah lestoran berkelas dipilihnya. Pikirku mungkin Reza telah
sukses di kariernya setelah empat tahun lulus kuliah.
Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal
seorang Reza. Aku bahkan masih mengingat bagaimana pertama kali aku mengenal
seorang Reza. Riuh suara mahasiswa baru yang menyanyikan lagu totalitas
perjuangan sampai keluar gedung gymnasium. Aku diluar tertahan untuk
mendapatkan hukuman terlebih dahulu karena datang kesiangan.
“Papan nama.” Pinta Reza yang pada saat itu adalah kakak
tingkatku dan menjadi panitia orientasi
mahasiswa. Aku menyerahkan papan nama yang menggantung dileherku. “baru hari pertama
sudah melanggar. Kumpulkan sampah pada kresek ini sampai penuh.” Reza
menyerahkan sebuah kantong keresek untuk aku isi sampah yang berhamburan di lapangan. Dengan segera dan penuh
kepatuhan aku mengumpulkan sampah dan segera kembali agar bisa segera masuk
dalam gymnasium dan bergabung bersama mahasiswa baru lainnya.
“Kamu kenal Sena Aulia Sarah?” Tanya Reza setelah aku melaksanakan hukumanku. Aku
menjawab dengan anggukan. “teman kamu? Aku dengar dia masuk sini juga. Jurusan
apa dia?” Tanyanya lagi. Siapa dia dan bagaimana dia mengenal Sena teman sekolahku?
“Aku Reza, dulu sekolah di
SMANSA juga.” Ujarnya seolah menjawab pertanyaan dikepalaku. Aku baru sadar
dalam papan namaku ada keterangan asal sekolahku, pantas saja ia tahu. Pantas pula
ia mengenal Sena, salah satu gadis tercantik disekolahku dulu yang cukup terkenal.
Pertemuan pertama itu
membawaku pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Terlebih lagi kosanku tidak
jauh dengan kosannya yang hanya berbeda beberapa gang saja. Banyak kesamaan
pandangan dan pendapat antara aku dan Reza. Reza yang menjadi salah satu
finalis mahasiswa berprestasi bahkan sering membantuku mengerjakan tugas-tugas perkuliahan.
Banyak waktu dihabiskan
bersama, entah untuk makan, membaca diperpustakaan, travelling, dan bahkan
lebih suka naik gunung ketimbang ikut jadi aktivis di BEM atau Himpunan. Ada ketidaksukaan
tersendiri baik aku maupun
Reza dalam memandang label “aktivis”.
Bagiku label aktivis adalah
label untuk kaum ekslusif, yang sibuk kesana kemari dengan jadwal yang padat
untuk rapat dan pertemuan-pertemuan. Yang bahkan untuk kerja kelompok dan mengerjakan
tugaspun ia tak sempat, yang bahkan untuk masuk kelaspun ia lupa jadwalkan.
“Aktivis itu selalu telat.
Telat masuk kelas, telat mengembalikan buku ke perpus. Sampai-sampai telat lulus
kuliah dan telat nikah. Hahah…” candaan Reza ditengah malam, saat membuat mie
rebus bersama dikosanku. “masuk BEM atau HIMA bukan berarti haram, hanya saja
harus bisa memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang wajib dan mana
yang sunah. Jadi mahasiswa wajibnya itu kuliah bukan rapat, ya dahulukanlah
untuk kuliah. Jadi orang bener dulu untuk bisa didengar oleh banyak orang. Mana ada orang
yang mendengarkan mahasiswa yang nyaris DO.” Reza mengacak-acak rambutku,
sembari tersenyum. Aku tahu
Reza mencoba menghiburku.
Aku menceritakan perihal Fian
teman seangkatan Reza yang mengulang mata kuliah dikelasku dan satu kelompok
denganku. Suatu hari disepakati untuk mengerjakan tugas kelompok bersama
ditaman kampus namun beberapa jam berlalu Fian tak kunjung muncul, bahkan
ketika tugas hampir selesai Fian datang dengan jaster dan toa.
“Sori…sori… aku mimpin aksi
dulu berkaitan dengan kebijakan kampus. Kenapa kalian tidak ikut aksi? Ini
penting loh. Kalau sampai kebijakan kampus ini diberlakukan kita bisa mampus.”
Fian dengan meyakinkan dan berapi-api. “Stop komersialisasi kampus. Tadi seru
banget loh. Saya juga sampai berhadapan dengan Rektor. Sepertinya nama saya
sudah masuk daftar hitam dan list DO.” Beberapa kawanku dengan penasarannya
bertanya-tanya ini-itu berkaitan dengan aksi. Sedang aku merengut sebal.
Mungkin ia bermaksud baik
untuk membela kepentingan mahasiswa, namun bagiku ia tak ubahnya sebuah lilin yang
memberikan secerca cahaya namun membakar dirinya sendiri untuk kemudian ia
meleleh tak berguna lagi dan dilupakan.***
Aku tahu sejak awal Reza
menunjukkan ketertarikannya pada Sena. Dan usahanya tak sia-sia, cintanya
berhasil ia dapatkan. Bulan pertama, kedua, dan ketiga jadian aku melewati
malam mingguku sendirian dikosan. Bulan ke empat, kelima, dan ke
enam Reza mengajakku untuk
travelling dan naik gunung terdekat. Bulan ke tujuh, delapan, sembilan Reza dan
Sena sering ribut karena kecemburuan Sena padaku. Bulan
ke sepuluh, sebelas, duabelas lagi-lagi aku malam minggu sendirian. Bulan ke
tigabelas, empatbelas, limabelas Reza Ajak Sena untuk ikut kegiatannya naik
gunung, bulan enambelas, tujuhbelas, dan delapanbelas Sena selingkuh. Bulan ke
sembilanbelas, duapuluh, dan duapuluh satu Sena dan Reza putus. Bulan ke
duapuluh dua, duapuluhtiga dan duapuluh empat balikan lagi dan kemudian
berakhir dengan damai.
“Kamu tahu Ra, cewek yang jadi istri aku nanti udah pernah aku ajak naik ke tiga
gunung. Gunung Ciremai, gunung Slamet, dan gunung Semeru.” Reza penuh
keyakinan.
“ya, ajaklah Sena ke Semeru
akhir tahun ini Za.” Aku acuh tak acuh sembari merajut syal.
“mana mau dia ke semeru? Aku
ajak ke manglayang semalam saja, sudah buat repot.” Keluh Reza, membuka toples
penuh camilan milikku.
“lalu kau mau nikah sama
siapa? Sebentar lagi kamu wisuda dan perempuan yang bersamamu ke tiga gunung itu cuman aku.” Aku
membenarkan letak kacamataku.
“ah, pokoknya ada. Masih ada
waktu. Aku tak buru-buru juga untuk nikah.” Reza mengambil benang wol yang
masih mengulung-gulung. “oh iya, nama Rinjani cantik ya? Nanti aku akan kasih
nama itu untuk anakku. Kalau kamu mau kasih nama apa untuk anakmu nanti? Oh aku
tahu pasti edelwais atau dendeloin ya?” ujar Reza menggodaku. Aku tahu Reza
selalu membidikkan kameranya padaku saat aku tengah terpukau melihat kecantikan
bunga edelwais atau bunga dendeloin yang berterbangan tertiup angin.
“kamu bilang tidak buru-buru
nikah, tapi sudah kamu pikirkan nama anak.”
“Ra, kamu ini Cewek yang beda
ya.. hobinya sama hal-hal yang menantang. Naik gunung, climbing, temenan ama
cowok-cowok sangar, tapi ngisi waktu kosong dan dandanan kamu bener-bener cewek
abis.” Aku menghentikan merajut. Baru kali ini Reza menyadarinya setelah
bertahun-tahun berteman lama, dan ia tak pernah sekalipun komentar perihal
penampilan maupun kebiasaanku.
Aku tahu Reza begitu
memikirkan dan membayangkan ia memimpin sebuah rumah tangga bersama wanita yang
ia cintai. Pernah suatu ketika di alun-alun balai kota Malang
sepulangnya dari gunung semeru
ia begitu menikmati pemandangan sebuah keluarga muda dengan satu balita mereka
yang berlari kesana kemari direrumputan. Mengejar bola.
“Entar kalau aku dah punya bini bakalan kayak itu tuh, nikmatin sore sambil memperhatikan
perkembangan anak. Indah banget deh dunia.” Reza mengawang-awang. Aku lagi-lagi
hanya terdiam dan mendengarkan dengan baik setiap yang diucapkannya.
“kamu mau nikah kapan emang?”
tanyaku.
“entar kalau udah lulus, terus
dapet kerjaan yang menjamin aku langsung cari cewek dan aku nikahin gak pake
pacaran dulu. Kemudian aku bakal boyong istri aku ketempat dimana jauh dari
keluarga biar gak di interpensi rumah tangga aku.” Lagi-lagi Reza seolah-olah
sudah memikirkan dengan masak apa yang di bicarakannya.
Pernah suatu ketika aku dan Reza
berjalan-jalan malam disebuah kota yang menjadi tempat kita travelling dan
menemukan momen pernyataan cinta seorang lelaki dengan lagu cinta yang dinyanyikan
oleh musisi jalanan yang dibayar, seikat bunga, sepasang cincin emas dan lampu
kota yang indah.
“kalau aku jadi ceweknya, aku
ogah banget dilamar kayak begituan.” Celetukku.
“iya norak banget. Ra, kalau aku
nanti ngelamar cewek aku dengan sebuah kartu undangan yang namanya dikosongin,
dan aku akan bilang ‘aku ingin nama kita yang ada di undangan itu.’ kerenkan?”
aku hanya menyunggingkan senyuman.
“Kalau aku lebih milih
langsung aja Za. ‘Will you marry me?’ terus aku bilang ‘Yes, I Will’ udah deh
besoknya langsung ijab-qobul. Simple kan?” Reza mengangguk.***
“Rara…” Suara Reza membuyarkan
lamunanku. Kartu undangan itu berada didepan mataku. Sebuah balpoin bertinta
emas disodorkan padaku. Bagaimana bisa Reza memintaku untuk menjadi istrinya.
Sedangkan selama ini kita hanya berteman baik.
“Bagaimana Ra?” Tanya Reza.
Aku mencoba mengingat bagaimana aku jatuh hati pada Reza. Mungkin sejak pertama
kali aku mengenal Reza aku sudah jatuh hati, namun aku tak pernah berani
menginginkan lebih dari sekadar teman. Hanya berani membayangkan aku dilamar
Reza karena hanya akulah wanita yang pernah mendaki tiga gunung tertinggi di
pulau jawa bersamanya. Untuk kemudian tinggal bersama jauh dari keramaian
membangun rumah tangga yang indah bersama tanpa interpensi keluarga. Dan
Rinjanipun lahir. Namun kini rupanya pucuk dicinta ulampun tiba. Kesabaranku
menuai hasil pula. Reza melamarku dengan caranya sendiri yang pernah ia
sampaikan padaku. Aku menggangguk dengan yakin. Reza bahagia, ia melompat
kegirangan.
Aku membuka tutup bulpoint
hendak menulis namaku dan nama Reza. Namun Reza buru-buru mengambil kertas
undangannya.
“Gimana menurut kamu? Setting
seperti ini? Minggu depan aku akan melamar Sena, persis seperti ini yang aku
lakukan padamu. Sena pasti tersentuh hatinya bukan?” Aku terdiam, lagi-lagi
mencubit tanganku dibawah meja. Dan mengucek-ucek mataku bahwa apa yang aku
alami ini bukan mimpi. Dan apa yang aku dengar tidak salah. Jadi yang dilakukan
Reza ini adalah trail and error-nya
untuk melamar Sena, gadis pujaannya selama ini.***
Sangat menyentuh di bagian yang hampir akhir, tapi endingnya agak nysek kasian dan pen ketawa, mungkin karena ara yg di jadikan untuk trail, 👏👏👏👏👏
BalasHapusBagus, terus lanjutkan tulisan tulisan kamu ☺️☺️☺️
Sukses buat mbak uul good luck and god bless you 😊
Ketawain aja. itu bukan Ara, tapi Rara. weheheh... makasih sudah setia membaca don..
HapusAhahahha oia maaf, aku ingetnya ara wkwkkw ok ok rara, oia kapan fajar dan senja akan di publish, i will waiting kayaknya seru
Hapus