Langsung ke konten utama

IQRA DAN BEKAL DIRANTANG

Dok. Istimewa. Adi, Uul, Yudi

Dihari minggu Bapak akan mengambil alih untuk mengasuh tiga anaknya. Meminta anak-anaknya untuk mandi pagi-pagi dan sarapan terlebih dahulu.
"Makan dulu, nanti baru pergi jalan-jalan. Biar gak masuk angin." kalimat Bapak yang ampuh membujuk anak-anaknya terlebih anak bungsunya yang susah makan. "kalau gak makan, nanti gak diajak." Ujar Bapak sembari menyuapi satu-satu anaknya yang usianya tidak terlalu jauh. Hanya berjarak dua tahunan.
"Kita mau kemana pak?" tanya anak-anaknya bergantian. Tentu tempat yang sudah biasa dikunjungi, jika bukan untuk melihat kereta api tentu ke gunung. Gunungpun bukan puncak gunung, tapi daerah Walahar tempat petilasan Sunan Bonang yang sejuk dan memang melewati jalanan yang menanjak dan itu sudah dianggap seperti naik gunung.
Sebelum berangkat Bapak akan meminta anak-anaknya untuk membawa bekal iqra. Sedang Bapak bersiap memanaskan motor vespanya dan membawa serta bekal dirantang yang disiapkan Ibu. 

Bagi Ibu hari minggu adalah harinya untuk menyelesaikan semua perkerjaan rumah, setelah seminggu penuh sibuk dengan bekerja, kuliah dan mengurus ketiga anaknya. Beban mengasuh sedikit ringan jika anak-anaknya dibawa pergi oleh suaminya. Tak terbayang jika suaminya harus lembur atau ada pekerjaan tambahan dihari minggu lalu  dua anak laki-lakinya jika dirumah mengganggu adik perempuannya yang bungsu sedang jika diluar rumahpun membawa resah kalau-kalau bermain disaluran irigasi sawah yang dapat menghanyutkan hingga kelautan lepas.

Kondisi ekonomi Ibu dan Bapak dulu masih sulit. Membawa bekal adalah cara terbaik untuk berhemat, juga agar anak-anaknya tidak minta jajan.
"Nanti jangan minta jajan, kita kan bawa bekal. Kalau ada yang jualan lihat saja ya.." Pesan Bapak, yang lalu diingat anak-anaknya.

Sepanjang jalan banyak lagu anak-anak yang dinyanyikan bersama, seperti naik-naik kepuncak gunung, atau hal-hal yang dilihat anak-anaknya ditanyakan pada Bapak seperti "Apa yang dilakukan orang-orang disawah? kenapa mereka seperti shalat (rukuk)?" Bapak juga tak pernah absen menyenandungkan shalawat sepanjang perjalanan.

Ketika sampai lokasi anak-anaknya dibiarkan bermain terlebih dahulu, untuk kemudian Bapak akan panggil satu persatu untuk membaca iqra. Jika sudah lancar Bapak akan ijinkan untuk bermain lagi, tapi tidak jauh-jauh sampai Bapak selesai mengajarkan pada anak yang lainnya. Tidak hanya tentang iqra disekali waktu, tapi juga mengajarkan untuk shalat tepat waktu dan mulai mengaji lagi ketika ada kesempatan dilain waktu istirahat. Seharian Bapak dan tiga anaknya berada diluar rumah, tidak hanya satu tempat tapi tempat yang lainnya juga hingga bekal dirantang habis dimakan. Sedang Bapak berpuasa seharian.

Beranjak dewasa tiga anaknya memahami bahwa iqra dan bekal dirantang mengajarkan banyak hal. Tidak hanya bisa mengaji tapi juga melihat sisi lain kehidupan bersama kesulitan. Bagaimana kedua orangtuanya bekerjasama untuk membangun kehidupan.

Komentar

Posting Komentar