Langsung ke konten utama

Kuburan (Bukan Kisah Horor)

diambil dari google, hanya ilustrasi


Gintung Tengah adalah sebuah desa yang cukup jauh dari pusat pemerintahan disudut kabupaten Cirebon. Kebanyakan warganya bertani atau gadis-gadis remaja selepas lulus SMP diberangkatkan ke Arab Saudi atau Malaysia. Meski kini trend berganti. Pemuda-Pemudi disekolahkan hingga SMA setelah itu mereka diberangkatkan ke Korea, Taiwan, Jepang, dan negara-negara lainnya.

Baru tiga bulan aku masuk sekolah dasar lalu aku harus ikut keluarga pindah ke Gintung Tengah. Desa dimana Matua begitu aku memanggil Nenek dari pihak Bapak tinggal. Rumah baru yang susah payah dibangun Bapak setelah sekian lama tinggal dengan mengontrak. Rumah dibangun dekat dengan tempat pemakaman umum atau kuburan dan dikelilingi sawah-sawah yang luas. Beberapa meter dari rumah ada saluran irigasi yang disebut dampyang, airnya menuju ke kali besar yang lalu akan bermuara pada lautan lepas.

Tahun 1998 belum banyak rumah seperti sekarang. Dulu hanya ada beberapa rumah saja dan seringnya rumah-rumah itu sepi karena penghuninya sibuk dengan aktivitas masing-masing, tapi aku masih mengingat ketika musim buah mangga yang pohonnya tumbuh rimbun dihalaman rumah atau pepaya depan rumah berbuah matang, dengan tetangga akan berkumpul dan membuat rujak bersama-sama.

Orang-orang dilingkungan kami menyebut blok M yakni singkatan blok makam. Karena baru sedikit rumah di sekitar blok M tidak banyak anak seusia denganku. Hanya ada Dewi dan Zul yang bersekolah disekolah yang sama sedangkan aku disekolah yang berbeda. Ketika pulang sekolah Dewi dan Zul tidak lama dirumah mereka akan bersiap untuk berangkat ke sekolah agama atau madrasah hingga ashar, nanti menjelang magrib mereka akan bersiap kembali untuk pergi mengaji yang berbeda surau denganku. Sedang aku selepas sekolah akan memilih bermain disekitar rumah sembari menunggu Mamah pulang bekerja. Aku tak pernah betah belajar agama di madrasah, tapi rajin pergi kesurau pak haji untuk mengaji ditiap magrib.

Aku tidak tahu persis berapa luas kuburan itu, tapi kabarnya menjadi salah satu kuburan terluas. Bagiku kuburan jadi tempat bermain yang menyenangkan. Ada pohon kresen yang rajin dipanjati setiap hari, ada pohon jambu batu yang buahnya manis di tengah kuburan. Kadang ada pohon pisang yang buahnya matang dipohon. Sekali waktu pernah memasuki wilayah pekuburan paling dalam dan paling gelap karena banyak pohon-pohon besar yang tumbuh dan tidak memberikan cela pada sinar matahari. Tentu tidak masuk sendiri, aku bersama salah satu kakak laki-laki yang usianya dua tahun diatas aku. Kami masuk kedalam kuburan untuk mencari sebuah biji-bijian yang jatuh dari pohon-pohon besar, menyeramkan tentu saja. Tapi lebih menyeramkan jika ketahuan tetangga atau orangtua tentu saja kami akan dimarahi habis-habisan, karena kami bisa tersesat didalam kuburan atau lebih mengerikan dari itu tentang mitos-mitos yang berkembang diculik makhluk halus misalnya.

Tinggal dekat kuburan mengakrabkan dengan kabar kematian. Suara burung kedasih sangat akrab ditelinga, mitosnya burung itu membawa kabar kematian. Belakangan pohon-pohon besar bagian depan ditebangi dan kuburan lebih terang. Suara burung kedasih mulai jarang terdengar bahkan kini mulai tidak ada.  Namun ada yang selalu sama dari dulu hingga sekarang, kuburan selalu ramai ditiap malam jum'at banyak yang datang berziarah dan mendoakan. 


Komentar

Posting Komentar